Thursday, April 29, 2010

Keagungan Allah Melalui Musyahadah

Alhamdulillah dengan izin Allah dapat saya kembali mengisi ruangan Tazkirah kali ini. Saban hari kita menyebut Allahu Akbar (Allah Maha Besar) pada setiap kali kita mendirikan solat. Malangnya kebesaran Allah masih belum meresap dan menyelera di dalam jiwa sanubari kita.

Intipati atau ciri-ciri keimanan ialah merasakan kebesaran dan keagungan Allah di dalam diri setiap masa dan ketika dalam semua keadaan. Pendek kata tebal atau nipisnya iman seseorang bergantung kepada bagaimana dia merasakan kebesaran Allah di dalam hatinya. Keyakinan dan keimanan terhadap Allah menjadi pendorong untuk melakukan ibadat sebagai pengabdian diri kepada-Nya.

Allah menjadikan, memiliki dan memerintah sekalian alam ini. Malahan diri kita juga adalah kepunyaanNya. Oleh itu semestinyalah kita mengabdikan diri kepadaNya serta sentiasa meminta pertolongan daripadaNya.

Allah berada di mana saja kita berada. KekuasaanNya sangat hampir dengan diri kita malahan ia lebih hampir dengan urat nyawa kita. Terlalu hampir Allah dengan kita sehinggakan kita tidak merasakan kewujudanNya. Di sinilah letaknya kejahilan dan kecuaian yang serius yang tidak sepatutnya kita lakukan. Kesombongan dan keangkuhan menjadi semakin teruk apabila kita bergelumang dengan maksiat yang menyebabkan kita menjadi semakin 'jauh' dengan Allah. Meskipun Allah sangat/terlalu hampir tetapi dosa kita menjadi 'hijab' yang melindungkan kita dari merasakan kebesaran dan kewujudan Allah Yang Maha Agung.

Hakikat ini kita boleh rasakan sendiri. Orang lain tidak dapat menilai sejauh mana keakraban kita dengan Allah yang mencipta kita. Cuma orang dapat melihat dan menilai diri kita secara zahir. Jika kita taat kepada Allah dalam suruhan dan laranganNya bermakna hubungannya rapat dengan Allah. Sebaliknya jika selalu melakukan maksiat bererti dia jauh dengan Allah. Allah tidak suka kepada orang yang zalim dan membuat maksiat. Dari segi batinnya, hanya Allah yang Maha Mengetahui.

Oleh sebab iman menjadi asas kepada keislaman seseorang, perlulah kita mencari jalan untuk merasa dan menghayati kemanisan iman. Kemanisan iman boleh diusahakan melalui dua jalan iaitu musyahadah dan muraqabah.

Kesemua objek sama ada yang hidup atau bukan hidup adalah ciptaan Allah. Ia menjadi bukti tentang wujudnya Allah. Tanpa Allah, alam ini tidak akan wujud. Ia tidak akan jadi dengan sendiri. Oleh itu untuk merasakan kehebatan Allah, perlulah kita menyendiri sekali-sekala melihat keajaiban alam dan isinya. Betapa hebatnya Allah menjadikan setiap sesuatu. Allah jadikan manusia pelbagai bangsa dan rupa. Allah menjadikan organ-organ dalam diri kita dengan fungsi masing-masing. Allah menjadikan haiwan pelbagai jenis. Allah menjadikan tumbuhan, ada yang berbuah, berbunga, berduri serta berlainan jenis dan rasa. Demikian juga Allah menjadikan siang dan malam serta cakrewala yang menjadi perhiasan alam. Semua ini menjadi petanda kebesaran Allah yang menuntut kita memerhati dan ber'musyahadah' untuk menguatkan keimanan kita terhadap Yang Maha Besar.

Kita lihat pula sifat setiap objek tersebut. Ada yang manis, tawar, pahit, masin, jahat, baik, panjang, lebar, licin, kesat, bulat, lonjong, berduri, berwarna-warni, kaya, miskin, hina, mulia, gagah, lemah, dan lain-lain lagi yang tidak mungkin dapat kita catatkan meskipun habis dakwat sebanyak air lautan digunakan. Duduklah sendirian dan menungkan hakikat ini; insyallah kita akan merasakan betapa agung dan hebatNya Allah yang menciptakan segala-galanya sama ada di langit, di bumi dan di dalam lautan.

Kemudian kita lihat pula gelagat manusia dengan pelbagai pekerjaannya. Ada yang bertukang, berlari, bermain, memasak, menyapu, mencuri, menyamun, berenang dan sebagainya. Segala bentuk perbuatan mereka adalah gerakan dari Allah. Namun kita tidak boleh sandarkan perbuatan jahat mereka dari Allah kerana manusia diberikan pilihan untuk melakukan yang baik atau jahat. Allah berikan akal kepada manusia untuk mereka lakukan yang baik saja. Malang sekali jika setelah diberikan akal, kita masih melakukan yang buruk dan dibenci oleh Allah.

Dengan musyahadah iaitu memikirkan segala yang tersebut di atas, akan menambahkan keyakinan kita terhadap Allah. Dialah yang mentadbir alam ini. Dia juga yang menghidup dan mematikan manusia. Apa yang Allah kehendaki tetap berlaku meskipun dibenci oleh manusia. Apa yang Allah tidak kehendaki tetap tidak akan berlaku meskipun semua manusia ingin kepadanya. Ibarat ayam sereban kepunyaan kita, kita berhak buat apa saja dan orang lain tidak boleh peduli sama ada kita hendak potong atau terus memeliharanya. Begitulah Allah dengan makhluk ini. Dia boleh melakukan apa saja terhadap kita dan manusia lain tidak berhak komplain atas apa jua kehendak dan iradat Allah. Sebab itulah kita mesti berdoa dan bertawakkal kepada Allah di samping berusaha mendekatkan diri kepadaNya.

Konsep 'Allah berserta kamu di mana saja kamu berada' perlu dihayati serta diyakini setiap ketika. Kesedaran tentang konsep ini akan membuat kita rajin beribadat dan takut membuat maksiat. Inilah kunci atau intisari ilmu tauhid - pengesaan terhadap Allah dalam perbuatan, sifat dan zatNya.

Menyorot sejarah Nabi Muhammad saw beruzlah di Gua Hira' adalah menjadi satu bukti tentang perlunya kita bermusyahadah dalam mencari sesuatu ketenangan dan kebenaran. Baginda dilantik sebagai Rasul setelah menerima wahyu pertama di Gua tersebut.

Ulama pernah menyebutkan 'bertafakkur satu saat (dalam memikir kebesaran Allah) adalah lebih baik daripada beribadat 1000 tahun'. Ini jangan disalahtafsirkan sebagai tak perlu beribadat memadai dengan tafakkur. Ia cuma memberi gambaran bahawa tafakkur menjadi faktor utama dalam mencari kekuatan beribadat.

Proses musyahadah perlu dilakukan secara konstan sehingga menjadi darah daging. Atau sehingga terasa benar di dalam diri kita tentang kebesaran Allah dan merasakan bahawa 'tidak ada sesuatu yang Allah jadikan secara sia-sia'. Kesemuanya ada hikmah yang di luar kemampuan kita untuk memikirkannya.

Musyahadah menjadi satu daripada beberapa jalan untuk mendapat 'iman'. Dengan iman ini kita akan berasa lazat berzikir, mencari ilmu agama, melakukan ibadat fardu, menambah dengan ibadat sunat serta berusaha mencari keredhaan Allah. Sebaliknya kita benci melakukan kejahatan sebagaimana takutnya kita menghampiri kepada api neraka. Barulah ketika itu kita merasakan kelazatan iman dan terasa hubungan yang rapat dengan Allah disebabkan oleh keredhaan Allah terhadap diri kita.

Di samping melakukan proses musyahadah, kita perlu melakuakn muraqabah yakni menghampirkan diri terhadap Allah dengan melakukan segala amal fardu dan sunat. Amalan 'hablum min'Allah' (hubungan dengan Allah) dan hablum minannas (hubungan dengan manusia). Kita perlu menjaga dua hubungan iaitu hubungan dengan Allah dan juga sesama manusia.

Dalam hubungan ini, Allah sering mengingatkan kita supaya berjalan/melawat di muka bumi Allah dengan niat melihat kebesaran Allah sambil memerhatikan balasan yang Allah timpakan kepada mereka yang menganiaya diri mereka sendiri.

Semoga dengan coretan di atas dapat menjadikan diri kita khususnya diri saya sendiri orang yang sentiasa muhasabah diri dan bermusyahadah serta bermuraqabah mudah-mudahan kita diterima menjadi orang yang soleh yang bakal menghuni syurga di akhirat kelak. Amin ya Rabbal Alamin.

Rasulullah s.a.w bersabda yang maksudnya:”Bertafakur sesaat adalah lebih baik daripada beribadat setahun.”
(Riwayat ad-Dailani  )


Friday, April 23, 2010

3 Hal yang merupakan Sumber Segala Dosa

Nabi SAW bersabda, ''Tiga hal yang merupakan sumber segala dosa, hindarilah dan berhati-hatilah terhadap ketiganya. Hati-hati terhadap keangkuhan, karena keangkuhan menjadikan iblis enggan bersujud kepada Adam, dan hati-hatilah terhadap tamak (rakus), karena ketamakan mengantar Adam memakan buah terlarang, dan berhati-hatilah terhadap iri hati, karena kedua anak Adam (Qabil dan Habil) salah seorang di antaranya membunuh saudaranya akibat dorongan iri hati." (HR Ibn Asakir melalui Ibn Mas'ud).

Jiwa manusia diliputi oleh sifat takabur pada saat manusia merasa memiliki kelebihan, baik berupa ilmu pengetahuan, harta benda, ataupun jabatan. Dalam keadaan seperti ini, setan tidak akan tinggal diam, dia akan membisikkan dan memasang perangkap untuk menjerumuskan manusia dengan melakukan tindakan yang tidak terpuji. Seperti, mencela, menghina, dan merendahkan orang lain.

Sifat kedua yang diingatkan pada kita untuk mencermatinya adalah sifat tamak (rakus). Sering kali kita melihat betapa rakusnya manusia dalam mempertahankan apa yang sedang dalam genggamannya, baik berupa harta, kekuasaan, ataupun kedudukan. Sama sekali ia tidak mau berbagi dan hanya mau dinikmati sendiri. Ia tidak pernah merasa cukup dan tidak pernah bersyukur atas apa yang diperolehnya.

Padahal, Allah SWT menjanjikan dan mengingatkan berulang kali kepada manusia bahwa sekecil apa pun perbuatan baik yang kita lakukan tidak akan sia-sia. ''Barang siapa yang mau berbuat baik walau sebesar biji dzara pun Allah SWT akan membalasnya. '' (QS Alzalzalah [99]: 7).

Ketiga, hasud atau iri hati. Dengki atau iri hati adalah perasaan tidak rela atau tidak suka melihat orang lain mendapatkan kebaikan atau kenikmatan. Ketika dalam diri manusia telah tertanam sifat dengki, ia akan menghalalkan segala cara untuk menghancurkan orang yang ia dengki. Ia tidak senang melihat orang lain sukses, pintar, hidup bahagia, dan lebih kaya darinya. Sikap seperti ini akan menghapus segala bentuk kebaikan yang selama ini ia peroleh. Perbuatan baiknya akan sia-sia karena dalam dirinya terdapat sifat iri hati.

Takabur, tamak, dan hasud merupakan tiga perangai buruk yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan yang tidak terpuji. Karena itu, Rasulullah SAW selalu mengingatkan kepada kita untuk menjauhi tiga hal yang menyebabkan manusia terjerumus dalam tipu daya setan.

Saturday, April 17, 2010

Kecemasan Seorang Wanita Ansar Mengenai Nabi.

Di dalam peperangam Uhud orang-orang Islam mengalami kerugian yang besar dan sebilangan besar dari tenteranya telah terkorban. Apabila berita yang menggemparkan mengenai jumlah kematian yang besar itu sampai ke Madinah, para wanita telah lari dari rumah-rumah mereka untuk mengetahui tentang butir-butir selanjutnya mengenai kematian itu. Ketika melihat kesesakan orang ramai itu seorang wanita dari kaum Ansar dengan perasaan khuatir telah bertanya:

"Bagaimanakah keadaan Rasulullah sollallahu `alahi wasallam?"

Apabila dia diberitahu bahawa ayahnya telah terbunuh di dalam pertempuran itu, dia mengucapkan "Innalillah" dan dengan perasaan tidak sabar dia mengulangi pertanyaan tadi sekali lagi. Pada kali ini dia diberitahu pula bahawa suaminya telah terkorban dan nasib yang serupa juga telah menimpa ke atas saudara dan anak lelakinya.

Dengan kecemasan yang semakin memuncak dia mengulangi pertanyaan seperti tadi iaitu mengenai keselamatan Rasulullah sollallahu `alaihi wasallam. Akhirnya dia diberitahu bahawa baginda selamat dan sihat tetapi walaubagaimanapun dia tetap tidak berpuas hati dan terus mendesak agar dapat dia melihat wajah Rasulullah sollallahu `alaihi wasallam sendiri.  Akhir sekali dia berjaya melihat wajah Rasulullah sollallahu `alaihi wasallam dan ini telah menyejukkan matanya. Selepas itu dia pun berkata:

"Wahai Pesuruh Allah, setiap sengsara telah dipermudahkan dan setiap kebimbangan telah terhindar kerana berkat dari memandang wajahmu."

Menurut satu lagi terjemahan dia telah memegang jubah Nabi dan berkata:

"Wahai Pesuruh Allah! Dikau lebih berharga kepada saya dari ibu bapaku. Kesedihan tentang kematian ahli-ahli keluarga saya yang lelaki itu telah hilang apabila saya melihat tuan masih hidup."

Terdapat beberapa peristiwa lagi yang serupa dengan ini yang telah berlaku di kalangan para wanita selepas peperangan Uhud. Ini mungkin disebabkan terdapat banyak peristiwa-peristiwa seperti ini oleh itu nama-nama yang berlainan telah dilaporkan oleh berbagai-bagai periwayat mengenai para wanita itu. Sebenarnya peristiwa-peristiwa seperti ini banyak berlaku di kalangan para wanita pada masa itu.

Saturday, April 10, 2010

Khusyuk Dalam Sholat

Shalat, kata Sa'id Hawwa, adalah sarana terbesar dalam tazkiyatun nafs (menyucikan jiwa). Pada waktu yang sama merupakan bukti dan ukuran dalam tazkiyah. Shalat adalah sarana dan sekaligus tujuan. Ia mempertajam makna ubudiyah, tauhid, dan syukur.

Shalat adalah zikir, gerakan berdiri, ruku, sujud, dan duduk. Penegakannya dapat memusnahkan bibit-bibit kesombongan dan pembangkangan kepada Allah, di samping merupakan pengakuan terhadap rubbubiyah dan hak pengaturan. Penegakannya secara sempurna juga akan dapat memusnahkan bibit-bibit ujub dan ghurur, bahkan semua bentuk kemungkaran dan kekejian. "Sesungguhnya shalat dapat mencegah kekejian dan kemungkaran." (Al-Ankabut 29).

Shalat akan berfungsi sedemikian rupa apabila ditegakkan dengan semua rukun, syarat, dan sunahnya. Secara lahir, kita menunaikannya secara sempurna dengan anggota badan. Secara batin, kita khusyuk dalam melaksanakannya.

Khusyuk itulah yang menjadikan shalat punya peran yang lebih besar dalam thahhir (penyucian), peran yang lebih besar dalam tahaqquq dan takhalluq (merealisasikan nilai-nilai dan sifat-sifat yang mulia). Tazkiyatin nafs berkisar seputar hal ini.

Amalan shalat yang bersifat lahiriah, kita melihat, masih dilaksanakan dengan baik oleh orang Muslim yang hidup di lingkungan Islam. Tetapi, apakah kita khusyuk melaksanakannya, masih menjadi tanda tanya besar. Nabi saw. bersabda, "Ilmu yang pertama kali diangkat dari muka bumi adalah kekhusyukan." (HR Thabrani). Padahal, khusyuk merupakan tanda pertama orang-orang beruntung (Al-Mu'minun 1-2). Orang-orang khusyuk adalah orang-orang yang berhak mendapat kabar gembira dari Allah SWT. (Al-Hajj:34-35).

Demikian pentingnya kedudukan khusyuk, hingga ketidakberadaannya berarti rusaknya hati dan keadaan. Baik dan rusaknya hati tergantung kepada ada dan tidaknya khusyuk ini. Sesungguhnya khusyuk merupakan manifestasi tertinggi dari sehatnya hati.

Jika khusyuk telah sirna berarti hati telah rusak. Bila khusyuk tidak ada berarti hati telah didominasi berbagai penyakit yang berbahaya dan keadaan yang buruk, seperti cinta dunia dan persaingan untuk mendapatkannya. Bila hati telah didominasi berbagai penyakit, maka kecenderungan kepada akhirat akan hilang. Bila hati telah sakit maka sumber-smber kebaikan bagi kaum Muslimin pun hilang. Cinta dunia menimbulkan persaingan untuk mendapatkannya, sedangkan persaingan terhadap dunia tidak layak menjadi landasan tegaknya urusan dunia dan agama.

Hilangnya khusyuk pertanda hilangnya kehidupan. Dia sulit menjadi penerima nasihat dan didominasi oleh hawa nafsu. Bayangkan, tatkala hawa nafsu mendominasi hati, segala nasihat dan peringatan tak lagi bermanfaat, maka berbagai syahwat pun merajalela. Dan terjadilah perebutan kedudukan, kekuasaan, harta, dan nafsu syahwat. Bila hal-hal ini mendominasi kehidupan, maka tidak akan terwujud kebaikan dunia maupun agama.

Khusyuk adalah ilmu sebagaimana ditegaskan hadis Nabi Saw. Ilmu ini tidak banyak yang mengetahuinya. Bila Anda telah menemukan orang khusyuk yang bisa mengantarkan Anda kepadanya. maka berpegang teguhlah kepadanya. Orang berilmu itulah tanda ulama akhirat.

Sesungguhnya ilmu khusyuk berkaitan dengan ilmu penyucian hati dari berbagai penyakit dan upaya merealisasikan kesehatan. Masalah ini merupakan tema yang amat luas sehingga para ulama akhirat memulainya dengan mengajarkan zikir dan hikmah kepada orang yang berjalan menuju Allah sampai hatinya hidup. Bila hati telah hidup berarti mereka telah membersihkan dari berbagai sifat yang tercela dan mengantarkannya kepada sifat-sifat terpuji. Di sinilah perlunya membiasakan hati khusyuk melalui kehadiran bersama Allah dan merenungkan berbagai nilai kehidupan.

Resep Al-Ghazali
Khusyuk dalam shalat merupakan ukuran dan tanda kekhusyukan hati. Bagaimana khusyuk dihadirkan? Al-Ghazali menawarkan resep berikut. Lahiriah perintah, kata Al-Ghazali, adalah wajib, sedangkan lalai adalah lawan ingat. Yang lalai dalam semua shalatnya, bagaimana mungkin dia bisa mendirikan shalat untuk mengingat-Nya?

Kehadiran hati adalah ruh shalat. Minimum saat mulai takbiratul ihram. Kurang dari ini adalah kebinasaan. Semakin bertambah kehadiran hati, semakin bertambah pula ruh tersebut ada dalam bagian-bagian shalat. Berapa banyak orang hidup tapi tidak punya daya gerak hingga seperti mayit. Demikian pula orang yang lalai dalam seluruh pelaksanan shalat kecuali pada waktu takbiratul ihram. Seperti orang hidup yang tidak punya daya gerak sama sekali.

Ketahuilah, kata Al-Ghazali, makna batin memiliki banyak ungkapan tetapi seluruhnya terangkum dalam enam kalimat. Yaitu: kehadiran hati, tafahhum, takzim, haibah, raja'da haya'. Kehadiran hati ialah mengosongkan hati dari hal-hal yang tidak perlu hingga dia senantiasa sadar, tidak berpikiran liar. Tafahhum adalah paham terhadap makna. Takzim itu rasa hormat. Haibah adalah rasa takut yang bersumber dari rasa hormat. Raja' adalah pengharapan dan haya adalah rasa malu.

Faktor penyebab kehadiran hati adalah himmah atau perhatian utama. Tafahhum berasal dari kebiasan berpikir untuk mengetahui makna. Takzim lahir dari dua makrifat (terhadap kemuliaan dan keagungan Allah dan terhadap kehinaan dan kefanaan dirinya). Haibah datang dari makrifat akan kekuasaan Allah, hukuman-Nya, pengaruh kehendak-Nya. Penyebab timbulnya raja' adalah kelembutan Allah, kedermawanan-Nya, keluasaan nikmat-Nya, keindahan ciptaan-Nya, dan pengetahuan akan kebenaran janji-Nya. Sedang haya' muncul melalui perasaan serbakurang sempurna dalam beribadah dan pengetahuannya akan ketidakmampuan menunaikan hak-hak Allah.

Berdasarkan itu, manusia terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, orang lalai yang mendirikan shalat, tetapi hatinya tidak hadir sama sekali. Orang yang mendirikan shalat dengan hati tak pernah lalai sama sekali. Ketiga orang lalai yang tidak mendirikan shalat.

Yang terbaik adalah tipe kedua. Dia tidak pernah lalai dalam shalat dan selalu menghidupkan hatinya. Dia bisa sangat konsentrasi sehingga tidak merasakan apa yang tengah terjadi di sekelilingnya. Bahkan sebagian orang wajahnya pucat dan dadanya berguncang karena takut. Ini tak mustahil dicapai manusia. Apalagi banyak orang mengalami hal serupa karena takut pada raja dunia.

Jika kita termasuk orang yang menginginkan akhirat, hendaknya tidak melalaikan berbagai peringatan yang terdapat dalam syarat-syarat dan rukun-rukun shalat. Syarat-syarat yang mendahului shalat adalah azan, bersuci, menutup aurat, menghadap kiblat, berdiri tegak lurus dan niat.

Ketika mendengar seruan muazin hadirkanlah dalam hati gambaran dahsyatnya seruan hari kiamat dan bersegeralah dengan lahir dan batin untuk segera memenuhinya. Orang-orang yang bersegera memenuhi seruan ini adalah orang-orang yang dipangil dengan penuh lemah lembut pada hari 'pergelaran akbar'. Arahkan hati kepada seruan ini. ''Jika kita bisa mendapatinya dengan penuh kegembiraan, kesenangan, selalu berkeinginan untuk memulainya, maka ketahuilah rasa khusyuk akan datang kepadamu,'' kata Said Hawwa dalam buku Tazkiyatun Nafs. (Menyucikan Jiwa).

Friday, April 9, 2010

Rukun Hati

Dalam solat atau sembahyang itu ada berbagai jenis rukun. Ada rukun fi'li atau perbuatan. Ada rukun qauli atau lafaz dan bacaan. Ada rukun qalbi atau hati.

Rukun fi'li termasuklah qiam atau berdiri tegak, ruku, sujud, duduk antara 2 sujud da duduk tahiyyat akhir. Rukun qauli pula termasuklah melafazkan takbiratul ihram, bacaan surah Alfatihah, bacaan tahiyyat akhir dan salam. Rukun qalbi atau hati pula ialah niat.

Namun demikian, 'kerja' hati di dalam solat tidaklah terhenti setakat niat sahaja. Kerja hati dalam solat adalah banyak dan umunya lebih rumit dan lebih berat dari anggota kerja jawarih dan lidah. Termasuk
kerja hati ialah tawadhuk, khusyuk dan khuduk walaupun ia tidak termasuk dalam rukun solat.

Tawadhuk ialah merendahkan diri, merendahkan hati atau merendahkan 'sayap' ke hadrat Allah Taala yang disembah. Merasakan diri kecil dan kerdil di hadapan Allah. Merasakan diri hamba yang sebenar-benarnya tanpa ada rasa 'tuan' di dalam hati. Supaya di dalam solat itu hanya ada 2 entiti. Satu ialah Tuhan yang disembah, dipuja dan diagungkan. Kedua ialah hamba yang hina-dina yang menyembah, yang memuja dan mengagungkan Tuhan dan bukan tuan, bukan raja, bukan sultan, bukan Tun, bukan Tan Sri dan sebagainya.

Khusyuk ialah rasa-rasa yang timbul di hati semasa solat. Orang yang khusyuk di dalam solat ialah orang yang mengalami dan merasakan berbagai-bagai rasa hasil dari penghayatan dan penjiwaan apa-apa yang dilafaz dan dibacanya. Rasa-rasa ini boleh jadi rasa-rasa bertuhan seperti merasakan bahawa Allah itu Maha Hebat, Maha Pemurah, Maha Pengampun, Maha Berkuasa, Maha Perkasa, Maha Mengetahui dan sebagainya atau rasa-rasa kehambaan seperti rasa bimbang, takut, cemas dan gerun terhadap Allah, bergantung harap, rasa cinta , rasa bersalah dan berdosa, rasa hina di sisis Allah dan sebagainya.

Khuduk pula ialah ketaatan dan penyerahan diri secara total kepada Allah. Merasakan bahawa dirinya adalah hak dan kepunyaan Allah dan terpulanglah kepada Allah untuk berbuat apa sahaja terhadap dirinya. Menyerahkan dirinya kepada Allah sepertimana bayi yang baru lahir menyerahkan dirinya kepada ibunya. Terpulanglah kepada ibunya sama ada akan memandikannya, membedungnya, menyusukannya ataupun tidak. Si bayi tidak ada apa-apa daya dan kuasa ke atas dirinya sendiri. Ataupun seperti mayat yang menyerahkan dirinya kepada pengurus mayat. Terpulanglah kepada pengurus mayat itu hendak berbuat apa sahaja kepada mayat tersebut. Si mayat tidak ada daya atau kuasa untuk membantah atau menghalang.

Rukun seperti rukun fi'li, qauli dan qalbi seperti niat, perlu dijaga kerana ia bersabit dengan sah atau batalnya solat. Namun begitu, kerja dan amalan-amalan hati yang lain di dalam solat seperti tawadhuk,
khusyuk dan khuduk ini sama pentingnya kerana tanpa amalan-amalan hati ini, solat kita terputus dari Allah walaupun pada zahirnya solat kita sah. Ada hadis yang bermaksud:

"Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada gambaran lahir kamu tetapi Allah melihat kepada hati dan amalan-amalan kamu."

Solat tanpa amalan-amalan hati tidak akan dapat mendidik kita, tidak akan dapat membersihkan sifat-sifat mazmumah yang bersarang di hati kita, tidak akan dapat mengembalikan fitrah kita kepada keadaan asal semulajadinya yang suci murni, tidak akan dapat membangunkan insaniah kita dan tidak akan dapat mencegah dari yang keji dan yang mungkar.

Tuesday, April 6, 2010

Makrifat Lahirkan Rasa Gerun Kepada Allah

“Rasa gerun itu hanya dapat dicapai dengan makrifat yang mendalam”

Bagi mecapai khusyuk dalam solat selain dari hudhur qalbi dan hadir hati dalam setiap perbuataan dan ucapan dalam solat, maka tafahhum juga merupakan syarat penting bagi mencapai khusyuk itu. Setiap ucapan mestilah difahami segala ertinya, sekiranya tidak memahami setiap kalimah yang diucap pasti solatnya itu menjadi sia-sia. Tidak boleh diterima sama sekali jika ada seorang yang bercakap bersama orang lain dengan ucapan yang dia sendiri tidak faham, tentu dia gagal untuk menyatakan tujuan dari ucapannya itu dan tidak bermakna ia bercakap dengan orang lain.

Betapa pula jika solat yang disifatkan sebagai dialog atau percakapan penting antara seorang hamba dengan Khaliqnya, yang di dalamnya terdapat berbagai pujian dan sanjungan, permohonan serta harapan, tetapi dia sendiri tidak faham apa yang diucapkannya. Sudah pasti ia gagal dalam pelaksanaan solat tersebut. Syarat khusyuk seterusnya ialah "Ta'zim" atau merasa hebat dan gerun terhadap Allah SWT ketika solat. Apabila seseorang itu mendirikan solat dan ketika mengucapkan Allahu Akbar adakah hatinya merasa gerun dan hebat terhadap-Nya?

Rasa gerun itu hanya dapat dicapai dengan makrifat yang mendalam. Sejauh mana ia makrifat terhadap Allah SWT sebagai Khaliq Yang Maha Agung, dan sejauh mana pula ia makrifat atau mengenali dirinya sebagai hamba yang serba kekurangan dan mempunyai berbagai kelemahan. Jika seseorang mengenali Tuhan sepenuhnya dengan segala keagungan sifat yang dimiliki-Nya, serta mengenali siapakah dirinya di hadapan Allah Yang Maha Agung, maka pastilah ketika itu hatinya akan merasa gerun bila menyebut nama Allah dan sedang berdiri berhadapan dengan-Nya.

Sejauh mana pengenalan seseorang terhadap Allah yang mencipta alam dan mengaturnya dengan kecanggihan ilmu-Nya yang tiada tara, sehingga semua berjalan dengan teratur. Ia Maha Berkuasa Maha Bijaksana yang tidak terhingga. Kemudian ia membuat bandingan terhadap dirinya untuk mengetahui sejauh mana pula makrifat atau mengenali dirinya. Walaupun ia seorang raja atau ketua eksekutif sebuah kerajaan, namun pada hakikatnya ia hanyalah seorang hamba yang dikerah oleh Allah SWT ke muka bumi ini. Bukan atas kemahuannya manusia itu menghuni bumi sebaliknya ia diarah dan dikerah untuk berada di dataran bumi untuk suatu jangka masa yang ditetapkan oleh Allah sehingga menjelang qiamat.

Setuju atau tidak manusia pasti dikerah oleh Allah untuk suatu kebangkitan semula di Padang Mahsyar tanpa sebarang hak istimewa. Walaupun di dunia dia seorang raja atau perdana menteri yang memegang kekuasaan pemerintahan sebuah kerajaan, yang kerapkali menggunakan kuasanya mengadakan peraturan dan menguatkuasakan undang-undang yang diciptanya sendiri. Namun ketika itu dia adalah manusia yang terpaksa mengikut kerahan Allah, dibangkitkan tanpa seurat benang. Hasil dari dua makrifat itu barulah ia akan merasa gerun terhadap Allah SWT, sehingga apabila datangnya waktu solat ia akan terasa gementar dan gerun kerana ia akan berhadapan dengan Allah lagi melalui solat yang akan didirikan itu. Ia gerun kerana ia akan melafazkan sumpah setianya lagi, sedangkan sumpahnya yang dilafazkan dalam solat yang lalu masih tidak terlaksana.

Sesungguhnya gerunlah hati orang yang makrifat dengan mendalam terhadap Allah SWT, lebih-lebih lagi setelah mengenali dirinya dengan segala kelemahan yang memerlukan pertolongan dari Allah SWT.

Saturday, April 3, 2010

Tafakur tentang tawakkal

Telah pun saudara maklum bahawa makna tafakur itu ialah menghadirkan dua makrifat/maklumat untuk menghasilkan maklumat yang ketiga. Telah juga saudara faham tentang kelebihannya yang terlebih baik daripada ibadat seumur hidup kita. Ini menunjukkan keistimewaan dan barakahnya potensi diri saudara untuk menemui apa yang dikatakan sebagai "Lailatul Qadr" pada sisi Ahli-ahli Musyhadah yang sentiasa cerah matahari makrifatnya.

Matahari dunia akan tenggelam bila tiba waktunya,tetapi matahari makrifat tidak pernah hilang cahayanya.

Suluk ingin mengajak saudara untuk bertafakur barang sejenak pada dua maklumat/makrifat yang sama-sama kita ada iaitu tentang sabar dan tawakal.

Allah Swt menyebutkan sabar dalam Al-Quran: Terjemahannya:

    * 1. "Dan akan kami berikan kepada orang2 yang sabar itu pembalasan, menurut yang telah mereka  
             kerjakan dengan sebaik-baiknya". S. An-Nahl, ayat 96.
    * 2. "Hendaklah kamu bersabar, sesungguhnya Allah itu bersama orang2 yg sabar". S. Al-An-fal, ayat 46.
    * 3. "Sesungguhnya orang2 yg sabar itu, akan disempurnakan pahalanya dengan tiada terhitung". S. Az-
            Zumur, ayat 10.

Oleh yang demikian, maka tidak ada dari pendekatan diri kepada Allah (ibadah), melainkan pahalanya itu ditentukan dengan kadar dan dapat dihitung, selain sabar.

Wah!!! hebat sekali kelebihannya sampai tiada terhitung. Samalah seperti martabat yang ada pada tafakur.

Rasulullah s.a.w bersabda yang maksudnya:”Bertafakur sesaat adalah lebih baik daripada beribadat setahun.”

Namun bukanlah satu perkara yang mudah untuk memakai pakaian sabar ini. Tidak semudah seperti yang kita lafazkan atau bayangkan. Tanda orang yang memiliki sifat-sifat warisan anbiya' dan auliya ini ialah mereka tidak pernah mengeluh atau melafazkan kata 'sabar' walaupun untuk tujuan memujuk dirinya. Jika ia masih mengeluh atau memujuk kesabarannya adalah seumpama kesabaran seekor kucing yang tidak dapat makan ikan yang sedang ditunggui. Air liurnya masih melilih dan berada dalam keadaan yang payah. Dia bukan bersabar tetapi menggunakan kudrat dan keupayaannya untuk menahan dirinya dalam keadaan payah dan menyakitkan.

Sebenarnya wajah atau rupa Sabar ini pernah menjelma pada diri Rasulullah semasa dilontar dengan batu dalam peristiwa di Thoif. Turun dua malaikat utusan Allah menawarkan khidmat untuk menghempapkan bukit ke atas penduduk Thoif. Baginda menolaknya sebaliknya baginda berdoa untuk keselematan mereka. Beliau tidak mengeluh dan mengadu tentang kesakitannya. Beliau pula tidak memohonkan sesuatu untuk balasan pada dirinya. Zhohirnya nampak seperti menahan kesakitan dan keaiban. Tetapi baginda bukan menahan kesakitan tidak juga menahan keaiban malah baginda Rasulullah berada dalam keadaan nikmat Redho dengan ketentuan Allah. Demikian wajah pakaian sabar yang dipakaikan oleh Allah kepada hamba pilihannya.

Ketika sedang berjalan, Ibrahim bin Adham bertemu dengan seorang lelaki yang tidak dikenalnya. Lelaki itu bertanya kepadanya letak perkampungan terdekat. Ibrahim segera saja mengarahkan jari telunjuknya ke pemakaman yang ada di dekat situ sambil berkata, "Itulah perkampungan yang sebenarnya, sebuah perkampungan hakiki".

Lelaki itu mundur sedikit lalu dengan perasaan kurang senang berkata, "Aku menanyakan letak perkampungan, mengapa kamu menunjukkan pekuburan kepadaku? Apa kamu hendak mengolok-olok aku?". Dengan penuh kemarahan, lelaki itu memukul kepala Ibrahim dengan tongkatnya sehingga darah bercucuran dari kepala Ibrahim.

"Pukullah kepala yang telah lama berbuat dosa kepada Allah ini", kata Ibrahim bin Adham sambil berusaha menghentikan aliran darah dari kepalanya. Lelaki itu kemudian pergi. Kejadian ini di ketahui oleh orang yang kebetulan berada tidak jauh dari tempat itu. Ia lalu menghampiri pendatang tadi dan berkata, "Hai lelaki, tahukah kamu maksiat yang telah kamu lakukan hari ini? Kamu baru saja memukul kepala orang yang paling banyak beribadah di zamannya. Kamu baru saja memukul Ibrahim bin Adham, seorang zahid yang terkenal".

Mendengar ini, lelaki itu segera kembali mendatangi Ibrahim lalu meminta maaf. "Aku telah memaafkanmu dan mendoakanmu masuk surga", kata Ibrahim. "Bagaimana mungkin?", seru lelaki itu dengan perasaan lega bercampur heran. "Karena, ketika kamu memukul kepalaku, aku bersabar, dan balasan bagi orang yang sabar tidak lain adalah surga. Jadi, tidaklah pantas jika aku masuk surga karena kamu, tetapi kemudian aku mendoakanmu masuk neraka. Ini juga bukanlah sikap yang bijaksana“, jelas Ibrahim bin Adham

Benarlah kata-kata golongan wali-wali Allah seperti di bawah;

Antara hak-hak hukum waktu yang perlu dilaksanakan ialah:

    * Waktu Taat wajib kita pandang amalan ibadat yang mampu dilakukan itu adalah kurnia dari Allah
    * Waktu Nikmat wajib kita sukur pada anugerah Allah
    * Waktu Bala wajib kita bersabar dengan ujian dan Qodanya.
    * Waktu Maksiat wajib kita segera bertaubat

Ringkas kata tidak akan bersabar seorang itu jika ia belum redho dengan Qoda dan Qadar Allah. Dan bagaimana dapat dikatakan ia redho sedangkan dirinya masih belum bertawakkal dengan Allah.

Keadaan orang yang bertawakkal samalah seperti yang pesalah yang menyerahkan urusan pembelaannya kepada seorang peguam yang amat pintar lagi dipercayai. Beliau tidak bersusah payah ke sana ke mari. Beliau hanya duduk berdiam diri menghadapi tuduhan dan beliau yakin yang beliau akan menang dalam perbicaraan ini melalui peguam yang pintar ini. Beliau menyerahkan segala urusannya dengan penuh keyakinan.

Orang yang redho sebenarnya melihat setiap kejadian yang berlaku adalah sebagai pendhohiran kuasa dan kehendak Allah yang Esa. Senang, susah, nikmat, sakit adalah sama pada pandangan beliau. Puncanya satu iaitu Allah. Pandangan pada dahan, ranting, bunga daun, adalah satu iaiitu benih pokok itu.

Bila pandangan atau "syuhud" ini terarah kepada Wahdatul Afaal (Satu dalam perbuatan) maka lenyaplah perbuatan manusia. Tiada beza antara penampar atau belaian. Penampar yang singgah ke muka disyuhud sebagai perhatian yang Allah berikan kepadanya. Belaian yang mengelusi dilihat sebagai gurauan dari Allah.

Inilah sebahagian kecil dari sifat-sifat orang yang bertawakal. Orang yang bertawakal biasanya dengan sendirinya memakai pakaian sabar dan redho.

Sabar dan redho adalah tabiatnya bukan ilmunya.

Fahamilah apa itu sabar yang sebenarnya.

Allahu A'lam

Petikan dari Suluk
http://www.angelfire.com/journal/suluk/index.html