Thursday, October 30, 2008

Peringkat-peringkat Zikir

Sebagai seorang muslim, kita selalu dituntut untuk berdzikir atau untuk selalu mengingat Allah SWT dalam kondisi apapun. Baik dalam keadaan berdiri maupun duduk maupun berbaring, baik dalam keadaan senang maupun susah. Karena dengan mengingat Allah SWT hati kita akan menjadi tenang. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang berbunyi:

Yang artinya: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah SWT. Ingatlah! Hanya dengan mengingat Allah –lah hati menjadi tentram. (QS. Ar-Ra’d: 28)

Dalam ayat ini seakan-akan Allah SWT mengatakan kepada kita: ketahuilah! Hanya dengan berdzikir kepada Allah , maka pasti hatimu akan tenang. Karena yang mengatakan ini adalah Allah SWT, berarti ini aksioma langit (ketentuan mutlak) yang tidak dapat ditawarkan lagi.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: perumpamaan orang yang berdzikir dengan orang yang tidak berdzikir adalah seperti orang yang hidup dan orang yang mati. (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Musa Al-Asy’ari).

Demikian pentingnya kita untuk selalu mengingat Allah SWT, sampai-sampai Allah SWT mengumpamakan orang yang tidak berdzikir seperti orang mati. Na’udzubillahi min dzalika.

Dzikir bukan hanya sebuah tutur kata diatas mimbar, bukan juga sekedar kumat kamit sebagai gerak mulut saja, bukan sekedar duduk di masjid ataupun duduk di tengah malam sambil melafazkan kalimat-kalimat tertentu dengan menggunakan butiran-butiran tasbih. Namun lebih dari itu, dzikir merupakan pengalaman ruhani yang dapat dinikmati oleh pelakunya. Inilah yang dimaksudkan oleh Allah SWT sebagai penentram hati. Pada hakekatnya dzikir dapat dijadikan empat macam.

Pertama: Dzikir Qolbiyah, dzikir ini adalah merasakan kehadiran Allah, dalam melakukan apa saja ia meyakini akan kehadiran Allah SWT bersamanya sehingga hatinya selalu tenang tanpa ada rasa takut sedikit pun. Allah SWT maha melihat, maha mendengar, lagi maha mengetahui. Tidak ada yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya, seberat atom pun yang di langit maupun di bumi. (QS. Saba’: 3). Dzikir qalbiyah ini lazim disebut ihsan. Rasulullah SAW bersabda tentang arti ihsan, yaitu:
Artinya: (Ihsan adalah) engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Sekalipun engkau tidak melihat-Nya tapi sesungguhnya Dia melihatmu. (Hadits Muttafaqun ‘alaih).
Dengan dzikir qalbiyah kita memfungsikan mata hati kita dan menyadari bahwa Allah SWT selalu melihat dan mengawasi kita. Jika kita sudah mencapai pada kesadaran ini, maka akan menimbulkan dampak yang besar. Pertama: hati akan selalu bersih. Kedua: apapun yang kita kerjakakan akan menjadi ibadah dan ketiga: kita akan memperoleh nilai dalam hidup ini, yakni keridhoan Allah SWT, karena apapun yang kita kerjakan kalau bukan karena Allah SWT, maka mestilah sia-sia atau bahkan bisa disebut rugi.

Dzikir yang kedua: Dzikir Aqliyah, adalah kemampuan menangkap bahasa Allah SWT dibalik setiap gerak alam semesta ini. Menyadari bahwa semua gerakan alam, Allah lah yang menjadi sumber gerak dan yang menggerakkannya. Alam semesta ini adalah sekolah dan tempat belajar kita. Segala ciptaan-Nya dengan segala proses kejadiannya, adalah proses pembelajaran kita. Segala ciptaan-Nya yang berupa batu, sungai, gunung, udara, pohon, manusia, hewan dan sebagainya merupakan pena Allah SWT yang mengandung qalam-Nya (sunnatullah) yang wajib kita baca. Kalau kita jeli memahami Al-Quran, sesungguhnya kita hidup di bumi nan luas ini, yang pertama kali di perintahkan adalah membaca (Iqra). Yang wajib kita baca ada dua wujud, yakni alam semesta (ayat kauniyah) termasuk di dalamnya diri kita (manusia) dan Al-Quran (ayat Qauliyah). Dengan kesadaran dan cara berfikir ini, maka setiap kita melihat suatu benda (ciptaan-Nya) pada saat yang sama kita akan melihat keagungan, kebesaran dankekuasaa Allah SWT, inilah yang merupakan puncak dan hasil dari dzikir aqliyah.

Dzikir yang ketiga: Dzikir lisan, ini adalah buah dari dzikir hati dan akal. Setelah melakukan dzikir hati dan akal, barulah lisan berfungsi untuk senantiasa berdzikir, selanjutnya lisan berdo’a dan berkata-kata dengan benar, jujur, baik dan bermanfaat. Orang yang merasa hatinya hadir di hadapan Allah SWT dan sadar bahwa dirinya selalu berada dalam pengawasan-Nya disebut muraqabah. Dengan muraqabah akan mendorong seorang muslim untuk melakukan muhasabah atau evaluasi diri. Dengan melakukan muraqabah dan muhasabah, kita akan menemukan hikmah. Inilah yang merupakan tujuan akhir dari dzikir lisan, yaitu menemukan hikmah dibalik semua ciptaan Allah SWT setelah merasakan kehadiran-Nya dan befikir tentang semua ciptaan-Nya. Kalau kita tidak melakukan dzikir lisan, maka hati dan pikiran kita akan tumpul dan mudah di bisiki oleh bisikan-bisikan syetan yang akan merenggut ketenangan hati.

Dzikir yang keempat: Dzikir amaliyah, sebenarnya cita-cita kita semua adalah dzikir amaliyah, dan ini sebenarnya goal atau tujuan yang kita inginkan dari dzikir. Setelah hati kita berzikir, akal kita berzikir, lisan kita berdzikir, maka akan lahirlah jiwa-jiwa serta pribadi-pribadi yang suci, pribadi-pribadi yang berakhlaq mulia, baik secara lahir maupun bathin. Dari pribadi-pribadi tersebut akan lahirlah amal-amal shaleh yang diridhoi oleh Allah SWT, sehingga terbentuk sebuah masyarakat yang takut serta bertaqwa kepada Allah SWT. Kalau sudah demikian maka akan dibukakan oleh Allah SWT pintu-pintu berkah dari langit maupun dari bumi. Sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya: Jikalau sekiranya penduduk di negeri-negeri itu beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat dan hukum-hukum kami) itu, maka kami siksa (adzab) mereka disebabkan perbuatannya. (QS. Al-A’raaf: 96)

Demikianlah janji Allah kepada kaum yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Dengan meningkatkan dzikir kita kepada Allah SWT, insya Allah akan dapat kita raih predikat taqwa yang pada akhirnya akan melahirkan pribadi-pribadi yang bertaqwa kepada Allah SWT.

Puncak dzikir adalah ketika kita telah mampu menanggalkan atribut-atribut artificial yang kita sandang. Yakni kita benar-benar telah bebas dari keinginan-keinginan pribadi. Semua tindakan kita didasarkan pada prinsip lillahi ta’ala (hanya karena Allah ). Pada saat itu kita akan menemukan kesadaran akan nilai-nilai ilahiyah dan kemanusiaannya. Seperti memiliki kelembutan hati, kehalusan budi pekerti (akhlak), keadilan, keberanian, kasih sayang, kejujuran, amanah, kedermawanan, keikhlasan, dan keta’atan untuk mencapai ridho Allah SWT. Kemudian hidup ini akan senantiasa sibuk memperbaiki diri dan dibarengi dengan amal shaleh. Itulah derajat taqwa yang ingin kita raih bersama.

Tuesday, October 28, 2008

Doa Rintihan Imam Bukhari

Di kala malam yang sunyi sepi
bani insan tengah tenggelam dalam tidur dan mimpi
musafir yang malang ini tersentak bangun
pergi membasuh diri
untuk datang mengadap-Mu Tuhan

Lemah lututku berdiri di hadapanMu
sedu sedan tangisku keharuan
hamba yang lemah serta hina ini
Engkau terima juga mendekat
bersimpuh di bawah Duli kebesaranMu

Tuhan
hamba tidak tahu pasti
bagaimana penerimaanMu
di kala mendengar pengaduan hamba
yang penuh dosa dan noda ini

Dalam wahyu yang Engkau nuzulkan
Engkau berjanji untuk sedia menerima pengaduan
dan sudi memberi keampunan

Dan Muhammad RasulMu yang mulia itu
ada mengatakan :

Ampunan Tuhan lebih besar dari kesalahan insan
hamba percaya pada tutur kepastian itu
sebab itu hamba datang wahai tuhan
bukan tidak redha dengan ujian
cuma hendak mengadu padaMu
tempat hamba kembali nanti
memohon sakinah, maghfirah dan mutmainah

Saturday, October 25, 2008

Doa Nabi Daud a.s.

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon cinta-Mu dan cinta orang yg mencintai-Mu serta cinta yg dapat mendekatkan aku kepada cinta-Mu.
Ya Allah, apa saja yg Engkau anugerahkan kepadaku daripada apa yang aku cintai, maka jadikan ia kekuatan untukku mencintai apa yg Engkau cintai. Dan apa saja yg Engkau singkirkan daripada apa yg aku cintai, maka jadikan ia keredaan untukku dalam mencintai apa yang Engkau cintai.
Ya Allah, jadikan cinta-Mu sesuatu yang paling kucintai daripada cintaku kepada keluargaku, hartaku dan air sejuk pada saat kehausan.
Ya Allah, jadikan aku mencintai-Mu, mencintai malaikat-Mu, rasul-Mu dan hamba-Mu yang soleh.
Ya Allah, hidupkanlah hatiku dengan cinta-Mu dan jadikanlah aku bagi-Mu seperti apa yg Engkau cintai.
Ya Allah, jadikanlah aku mencintai-Mu dengan segenap cintaku dan seluruh usahaku demi keredhoan-Mu".

[Hadith At-Tirmizi dlm Jami' al- Sahih, Rasulullah s.a.w bersabda: Inilah doa yg biasa dipanjatkan oleh nabi Daud a.s]

Monday, October 20, 2008

Kekasih Yang Dirindu

Nazrey Johani - Kekasih Yang Dirindu

Aku duduk sendirian merindu
Pemergian seorang kekasih
Walau lama penantian ku ini
Aku yakin pasti bertemu

Aku tahu padanya tiada mungkin
Kerna itu bukanlah sifatnya
Di akhirat kan bersua lagi
Dengan mereka yang merinduinya

* Kerna dia telah pun berjanji
akan memberi syafaatnya nanti
saat itu pasti kan terjadi
pada umatnya yang bertakwa

** Telah beribu tahun sudah berlalu
Keagungannya pernah berlaku
Sejarahnya akan berulang lagi
Sebelum tibanya kehancuran

Namun yang percaya hanyalah mereka
Yang rindukan kekasih
Namun yang merindu hanyalah mereka
yang selalu berselawat

Ya nabi ya rasul
Salamun alaik
Ya habib
Salamun alaik

Wednesday, October 15, 2008

Imam Abu Hanifah Dan Ilmuan Kafir

Imam Abu Hanifah pernah bercerita : Ada seorang ilmuwan besar, Atheis dari kalangan bangsa Rom, tapi ia orang kafir. Ulama-ulama Islam membiarkan saja, kecuali seorang, yaitu Hammad guru Abu Hanifah, oleh kerana itu dia segan bila bertemu dengannya.

Pada suatu hari, manusia berkumpul di masjid, orang kafir itu naik mimbar dan mahu mengadakan tukar fikiran dengan sesiapa saja, dia hendak menyerang ulama-ulama Islam. Di antara shaf-shaf masjid bangunlah seorang laki-laki muda, dialah Abu Hanifah dan ketika sudah berada dekat depan mimbar, dia berkata: "Inilah saya, hendak tukar fikiran dengan tuan". Mata Abu Hanifah berusaha untuk menguasai suasana, namun dia tetap merendahkan diri kerana usia mudanya. Namun dia pun angkat berkata: "Katakan pendapat tuan!". Ilmuwan kafir itu heran akan keberanian Abu Hanifah, lalu bertanya:

Atheis : Pada tahun berapakah Rabbmu dilahirkan?
Abu Hanifah : Allah berfirman: "Dia (Allah) tidak dilahirkan dan tidak pula melahirkan"
Atheis : Masuk akalkah bila dikatakan bahawa Allah ada pertama yang tiada apa-apa sebelum-Nya?, Pada tahun berapa Dia ada?
Abu Hanifah : Dia berada sebelum adanya sesuatu.
Atheis : Kami mohon diberikan contoh yang lebih jelas dari kenyataan!
Abu Hanifah : Tahukah tuan tentang perhitungan?
Atheis : Ya.
Abu Hanifah : Angka berapa sebelum angka satu?
Atheis : Tidak ada angka (nol).
Abu Hanifah : Kalau sebelum angka satu tidak ada angka lain yang mendahuluinya, kenapa tuan heran kalau sebelum Allah Yang Maha satu yang hakiki tidak ada yang mendahuluiNya?

Atheis : Dimanakah Rabbmu berada sekarang?, sesuatu yang ada pasti ada tempatnya.
Abu Hanifah : Tahukah tuan bagaimana bentuk susu?, apakah di dalam susu itu keju?
Atheis : Ya, sudah tentu.
Abu Hanifah : Tolong perlihatkan kepadaku di mana, di bahagian mana tempatnya keju itu sekarang?
Atheis : Tak ada tempat yang khusus. Keju itu menyeluruh meliputi dan bercampur dengan susu diseluruh bahagian.
Abu Hanifah : Kalau keju makhluk itu tidak ada tempat khusus dalam susu tersebut, apakah layak tuan meminta kepadaku untuk menetapkan tempat Allah Ta'ala?, Dia tidak bertempat dan tidak ditempatkan!

Atheis : Tunjukkan kepada kami zat Rabbmu, apakah ia benda padat seperti besi, atau benda cair seperti air, atau menguap seperti gas?
Abu Hanifah : Pernahkan tuan mendampingi orang sakit yang akan meninggal?
Atheis : Ya, pernah.
Abu Hanifah : Sebelumnya ia berbicara dengan tuan dan menggerak-gerakan anggota tubuhnya. Lalu tiba-tiba diam tak bergerak, apa yang menimbulkan perubahan itu?
Atheis : Kerana rohnya telah meninggalkan tubuhnya.
Abu Hanifah : Apakah waktu keluarnya roh itu tuan masih ada disana?
Atheis : Ya, masih ada.
Abu Hanifah : Ceritakanlah kepadaku, apakah rohnya itu benda padat seperti besi, atau cair seperti air atau menguap seprti gas?
Atheis : Entahlah, kami tidak tahu.
Abu Hanifah : Kalau tuan tidak boleh mengetahui bagaimana zat mahupun bentuk roh yang hanya sebuah makhluk, bagaimana tuan boleh memaksaku untuk mengutarakan zat Allah Ta'ala?!!

Atheis : Ke arah manakah Allah sekarang menghadapkan wajahnya? Sebab segala sesuatu pasti mempunyai arah?
Abu Hanifah : Jika tuan menyalakan lampu di dalam gelap malam, ke arah manakah sinar lampu itu menghadap?
Atheis : Sinarnya menghadap ke seluruh arah dan penjuru.
Abu Hanifah : Kalau demikian halnya dengan lampu yang cuma buatan itu, bagaimana dengan Allah Ta'ala Pencipta langit dan bumi, sebab Dia nur cahaya langit dan bumi.

Atheis : Kalau ada orang masuk ke syurga itu ada awalnya, kenapa tidak ada akhirnya? Kenapa di syurga kekal selamanya?
Abu Hanifah : Perhitungan angka pun ada awalnya tetapi tidak ada akhirnya.
Atheis : Bagaimana kita boleh makan dan minum di syurga tanpa buang air kecil dan besar?
Abu Hanifah : Tuan sudah mempraktekkanya ketika tuan ada di perut ibu tuan. Hidup dan makan minum selama sembilan bulan, akan tetapi tidak pernah buang air kecil dan besar disana. Baru kita melakukan dua hajat tersebut setelah keluar beberapa saat ke dunia.
Atheis : Bagaimana kebaikan syurga akan bertambah dan tidak akan habis-habisnya jika dinafkahkan?
Abu Hanifah : Allah juga menciptakan sesuatu di dunia, yang bila dinafkahkan malah bertambah banyak, seperti ilmu. Semakin diberikan (disebarkan) ilmu kita semakin berkembang (bertambah) dan tidak berkurang.

Atheis : Tunjukkanlah bukti kewujudan Tuhanmu kalau memang Dia ada!
Abu Hanifah r.a berbisik kepada khadamnya agar mengambil tanah liat. Lalu dilemparkannya tanah liat itu ke arah ketua pemimpin orang atheis itu. Para hadirin gelisah melihat peristiwa itu, khuatir terjadi pergaduhan. Tetapi Abu Hanifah menjelaskan jawapan yang diminta kepadanya. Hal ini membuatkan orang atheis itu mengerutkan dahi.
Abu Hanifah : Apakah lemparan itu menimbulkan rasa sakit di kepala anda?
Atheis : Ya, tentu saja.
Abu Hanifah : Di mana letak sakitnya?
Atheis : Ya, ada lukanya ini.
Abu Hanifah : Tunjukkanlah kepadaku kalau sakitmu itu memang ada, baru aku akan menunjukkan kepadamu di mana adanya Tuhanku!.
Kaum atheis tidak dapat menjawab dan tentu saja tidak dapat menunjukkan rasa sakitnya kerana itu adalah suatu rasa ghaib tapi rasa sakit itu memang ada.
Atheis : Baik dan buruk sudah ditakdirkan sejak azali, tetapi kenapa ada pahala dan seksa?.
Abu Hanifah : Kalau anda sudah mengerti bahawa baik dan buruk itu bahagian dari takdir, mengapa anda kini menuntut aku agar dihukum kerana telah melempar tanah liat ke dahi anda?Bukankah perbuatanku itu sebahagian daripada takdir?.

"Ya! kalau segala sesuatu sudah ditakdirkan sebelum diciptakan, apa yang sedang Allah kerjakan sekarang?" tanya Atheis. "Tuan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dari atas mimbar, sedangkan saya menjawabnya dari atas lantai. Maka untuk menjawab pertanyaan tuan, saya mohon tuan turun dari atas mimbar dan saya akan menjawabnya di tempat tuan", pinta Abu Hanifah. Ilmuwan kafir itu turun dari mimbarnya, dan Abu Hanifah naik di atas. "Baiklah, sekarang saya akan menjawab pertanyaan tuan. Tuan bertanya apa pekerjaan Allah sekarang?". Ilmuwan kafir mengangguk. "Ada pekerjaan-Nya yang dijelaskan dan ada pula yang tidak dijelaskan. Pekerjaan-Nya sekarang ialah bahawa apabila di atas mimbar sedang berdiri seorang kafir yang tidak hak seperti tuan, Dia akan menurunkannya seperti sekarang, sedangkan apabila ada seorang mukmin di lantai yang berhak, dengan segera itu pula Dia akan mengangkatnya ke atas mimbar, demikian pekerjaan Allah setiap waktu". Para hadirin puas dengan jawaban yang diberikan oleh Abu Hanifah dan begitu pula dengan orang kafir itu.

Saturday, October 11, 2008

Siapakah Wali-Wali Allah?

Dari Abi Hurairah RA katanya, telah bersabda Rasulullah saw : Sesungguhnya Allah swt telah berfirman:
"Barangsiapa yang menyakiti wali-Ku , maka Aku isytiharkan perang kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekati-Ku dengan suatu pekerjaan yang lebih Aku sukai daripada dia mengerjakan apa yang Aku telah fardhukan keatasnya. Dan sentiasalah hamba-Ku mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan melakukan yang sunat sehingga Aku cinta kepadanya. Maka apabila Aku telah mencintainya, adalah Aku-lah yang menjadi pendengarannya yang ia mendengar dengannya, dan penglihatannya yang ia melihat dengannya, dan tangannya yang ia tamparkan dengannya, dan kakinya yang ia berjalan dengannya; Dan sesungguhnya, jika ia meminta kepada-Ku, nescaya Aku berikan kepadanya; Dan sesunggunya, jika ia memohon perlindungan kepada-Ku nescaya Aku berikan perlindungan kepadanya." (Riwayat Imam Bukhari)


Hurainannya:

Barangsiapa yang menyakiti Wali-Ku, maka sesungguhnya Aku mengisytiharkan perang kepadanya.


Wali menurut bahasa ertinya qarib yakni dekat. Jadi Wali Allah (kekasih Allah) ialah orang yang sentiasa bertaqarrub (mendekatkan dirinya) dengan Allah. Dan atas sebab maka itulah Imam An Nawawy mengertikan Wali Allah disini ialah orang yang beriman (mukmin). Jadi mukmin yang tekun beribadat lagi tabah dalam mentaati Allah, melaksanakan suruhan-Nya dan menjauhkan dirinya daripada maksiat serta tidak terlalu mementingkan kesedapan duniawi, inilah yang disebut dengan Wali Allah. Wali Allah ada pada setiap masa dan zaman tetapi mereka susah dikenal pasti.

Golongan inilah yang cuba dijelaskan oleh Rasulullah kepada Saidina Omar Ibnu Al Khattab RA dalam dialog mereka:
Rasul: Para Nabi dan para syuhada akan cemburu kepada segolongan hamba Allah kelak diakhirat kerana kedudukan mereka yang tinggi di sisi Allah padahal mereka bukan para Nabi.
Omar: Siapakah mereka wahai Rasul?
Rasul: Mereka ialah satu kaum yang saling mengasihi sesama mereka semata-mata kerana Allah, bukan kerana hubungan silaturrahim atau kerana harta. Demi Allah, sesungguhnya wajah mereka bercahaya, mereka memiliki beberapa mimbar yang bercahaya. Mereka tidak takut dikala manusia lain merasa takut, dan mereka tidak sedih dikala manusia lain merasa sedih. Lalu Rasulpun membaca ayat 62-63 dari surah Yunus:
Maksudnya: Ingatlah, sesungguhnya Wali Wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Iaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. (Yunus: 62-63)

Berdasarkan ayat dan hadis diatas dapatlah disimpulkan:

Syarat utama untuk menjadi Wali Allah: Iman dan Taqwa.

Wali Allah sangat tinggi darjatnya disisi Allah. Atas sebab inilah jika sesiapa yang memusuhi Wali Wali Allah iaitu mukmin yang bertaqwa maka itu bererti ia memusuhi Allah dan Allah maklumkan perang kepada orang tersebut. Setelah Allah swt menjelaskan amaran-Nya terhadap orang yang memusuhi dan membenci Wali-Nya, lalu selanjutnya Allah menyebut pula beberapa sifat yang dimiliki oleh Wali-Nya yang kerana sifat-sifat itulah menjadikan mereka hampir dengan-Nya.

Tidaklah hamba-Ku mendekati-Ku dengan sesuatu pekerjaan yang lebih Aku sukai daripada ia melakukan apa yang telah difardhukan keatasnya.

Amalan fardhu: Segala amalan yang wajib dilaksanakan oleh hamba. Amalan wajib adalah asas, sedangkan amalan sunat pula adalah binaan. Kekukuhan binaan sangat tergantung kepada kemantapan asas. Setiap mukmin dikehendaki supaya menyediakan asas sebelum mendirikan binaan. Dengan kata lain mukmin mestilah mengutamakan amalan wajib sebelum ia melakukan amalan sunat. Atas dasar itulah maka amalan wajib adalah amalan yang paling disukai dan dicintai oleh Allah swt.

Dan sentiasalah hamba-Ku mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan melakukan amalan sunat sehingga Aku cinta kepadanya.

Amalan Sunat (An Nawaafil): Selain amalan yang difardhukan. Dan dengan amalan tersebut menjadikan seseorang lebih dicintai dan dikasihi oleh Allah swt. Adapun amalan sunat yang paling istimewa dan disukai oleh Allah ialah tilawah Al Quran, mendengarnya, memahami atau menghayati (tadabbur) maknanya. Ini disebabkan biasanya tidak ada yang paling manis bagi orang yang sedang bercinta melainkan ingat dan mengulang ulangi kata-kata orang yang dicintainya. Dan juga memperbanyakkan amalan sunat lain seperti solat, puasa, sedekah, zikir dan sebagainya. Apabila amalan-amalan itu telah dilazimkan secara terus-menerus akan bersebatilah dirinya dengan amalan tersebut, sehingga seolah-olah dipandang wajib, yakni ia akan merasa kurang senang apabila tertinggal salah satu daripadanya, padahal amalan itu tiada lain melainkan sunat belaka.

Rasulullah SAW. bersabda: Tidak ada yang dapat mengimbangi dalam mendekatkaan dirimu kepada Allah daripada apa yang keluar daripada-Nya (yakni Al Quran). (HR Tarmidzi dari Abi Umamah)

Othman Ibnu Afan berkata: Sekiranya hatimu benar-benar bersih nescaya kamu tidak akan merasa kenyang daripada Kalam Tuhanmu.

Jadi berdasarkan keterangan diatas jelaslah bahawa Wali Allah itu terbagi kepada dua darjat:

Mukmin yang mendekatkan dirinya kepada Allah SWT hanya dengan melakukan amalan fardhu saja dan menjauhkan diri dari perkara haram. Mereka inilah golongan Muqtasidun atau Ashaabul Yamin atau Al Abraar. Dan amal badan yang fardhu yang paling istimewa adalah solat kerana ketika itu Allah sangat hampir dengannya terutama ketika ia sedang sujud. Allah berfirman: Wasjud Waqtarib ( Al ‘Alaq : 19 )

Mukmin yang mendekatkan dirinya kepada Allah bukan hanya sekadar melakukan amalan fardhu tetapi juga memperbanyak amalan nawaafil yakni amalan sunat dan selain mereka meninggalkan perkara haram, mereka juga menjauhi perkara makruh. Mereka inilah yang dinamakan dengan golongan Assaabiquun Bil Khairaat atau Assabiquun Al Muqarrabuun.

Dan tentu saja dalam hal ini golongan yang kedua adalah lebih disukai dan darjatnya lebih tinggi disisi Allah SWT.

Maka apabila Aku telah mencintainya, adalah Aku yang menjadi pendengarannya yang ia mendengar dengannya, dan penglihatannya yang ia melihat dengannya, dan tangannya yang ia menampar dengannya, dan kakinya yang ia berjalan dengannya.

Al Fudhail Ibnu 'Iyadh berkata: Sesungguhnya Allah telah berfirman:
Adalah dusta orang yang mendakwa cinta kepada-Ku tetapi dia tidur daripada-Ku, bukankah setiap orang yang sedang dilamun cinta sangat suka kalau sentiasa berkhalwat (bersunyi-sunyi) dengan kekasihnya? "Inilah Aku yang sentiasa memerhatikan kekasih-kekasih-Ku, sungguh mereka telah jelmakan Aku dalam pandangan mereka, berdialog dengan-Ku seolah-olah mereka menyaksikan Aku, bercakap dengan-Ku seolah-olah Aku hadir dihadapan mereka. Esok akan Aku senangkan hati kamu di dalam syurga-syurga-Ku. Perasaan ini sentiasa tersemat kukuh dihati mereka sehingga tidak ada didalam hati mereka kecuali Aku. Oleh itu tidak ada yang muncul dari anggota mereka melainkan selaras dan sesuai dengan apa yang ada di dalam hati mereka.

Jadi orang yang beginilah yang berhak mendapat kasih sayang Allah. Allah akan balas amalan mereka yang ikhlas itu dengan melimpahkan keberkatan-Nya, memimpinnya ke jalan yang selamat dan sejahtera. Maka ketika itulah Allah akan menjadi pendengarannya ketika dia mendengar, menjadi penglihatannya ketika dia melihat, menjadi tangannya ketika dia menampar, menjadi kakinya ketika dia berjalan.

Allah sentiasa memelihara pendengarannya, penglihatannya kakinya dan tangannya daripada gangguan Iblis. Allah selalu didalam hatinya ketika dia mendengar, melihat, menampar, berjalan. Dan kalau hatinya selalu ingat kepada Allah sudah tentu ia tidak akan menyeleweng. Bererti orang yang sedang dicintai Allah Ta'ala itu sentiasa berada dalam naungan Tuhan, sehingga segala gerak-gerinya diarahkan kepada segala perbuatan yang diridhainya semata. Sebab Allah s.w.t tidak ingin kita melakukan yang mungkar, padahal hawa nafsu kita pula sangat cenderung kepada yang mungkar itu. Hanya orang yang dirahmati Tuhan sajalah yang akan terselamat dari angkara hawa nafsu, dan mereka itulah orang-orang yang berada di dalam perlindungan Tuhan dan naunganNya. Tidak ramai manusia yang bakal sampai ke tingkat yang tertinggi ini, namun tidak mustahil, dia akan mencapai tingkat tersebut apabila hatinya telah sebati dengan semua taqarrub dan amalan yang selalu dikerjakan itu. Sebab di situlah tempat yang dapat dirasakan ketenangan hatinya yang hakiki, yakni bila berhadapan dengan Allah Ta'ala, dan dirasakan nikmat kemanisan munajat kepadaNya. Hal-hal serupa ini adalah hal-hal maknawi dan terlalu halus, yang tiada dapat diungkapkan dan disifatkan oleh sang hamba itu sendiri. Apa yang dirasakan itu tidak perlu diberitakan kepada yang lain, kerana itu adalah sesuatu hakikat kekurniaan yang dikhususkan Tuhan baginya sebagai rahsia yang tidak boleh didedahkan kepada umum, kerana dikhuatiri nanti dimakan riya' serta dijerumuskan syaitan ke jurang ujub dan medan megah diri yang akan membinasakan itu. Maka kekallah sang hamba itu dengan rahsia Tuhannya yang diilhamkan di hatinya dan seluruh jiwanya.

Dan sesungguhnya, jika ia meminta kepada-Ku nescaya Aku berikan kepadanya; Dan sesungguhnya, jika ia memohon perlindungan kepada-Ku nescaya akan Aku berikan perlindungan kepadanya.

Bahagian ini pula menyatakan bahawa doa dan permohonan para Wali Allah akan segera dikabulkan. Ini adalah kesan dari sikap mereka yang sentiasa mendekatkan diri kepada Allah, apakah melalui amalan wajib ataupun amalan sunat.

Mudah-mudahan kita juga diberikan dorongan dan kekuatan hati untuk menuju ke sana pada suatu hari nanti, tetapi hendaklah kita melazimkan diri untuk berbuat taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) dan nawafil dengan hati sungguh-sungguh dan ikhlas yamg murni. Dan juga sering bermujahadah (melawan hawa nafsu). Amin.

Thursday, October 9, 2008

Islam Tinggal Nama Sahaja

Daripada Ali bin Abi Thalib r.a. berkata: Telah bersabda Rasulullah saw.; "Sudah hampir sampai suatu masa di mana tidak tinggal lagi daripada Islam ini kecuali hanya namanya, dan tidak tinggal daripada Al-Quran itu kecuali hanya tulisannya. Masjid-masjid mereka tersergam indah, tetapi ia kosong daripada hidayah. Ulama mereka adalah sejahat-jahat makhluk yang ada di bawah kolong (naungan) langit. Dari mereka berpunca fitnah, dan kepada mereka fitnah ini akan kembali". (Riwayat Baihaqi)

Keterangan:
Kalau kita perhatikan dunia Islam pada hari ini, keadaannya tidak begitu jauh dari gambaran yang telah dinyatakan oleh Rasulullah saw. ini. Kalau belum sampai pun, ianya sudah mendekati ke sana. Ulama yang dimaksudkan dalam hadis ini ialah ulama su' yang menjual agama mereka dengan mata benda dunia, bukan ulama akhirat yang mewarisi tugas para Nabi dan yang meneruskan penyebaran dakwah dari masa ke semasa.

Umat Islam Mengikuti Langkah-Langkah Yahudi Dan Nasrani

Daripada Abu Sa’id Al-Khudri ra. berkata, Bahawasanya Rasulullah saw. bersabda, "Kamu akan mengikuti jejak langkah umat-umat sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga jikalau mereka masuk ke lubang biawak pun kamu akan mengikuti mereka.” Sahabat bertanya, "Ya Rasulullah! Apakah Yahudi dan Nasrani yang kau maksudkan?” Nabi saw. menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka". (Riwayat Muslim)

Keterangan:
Umat Islam akan mengikut jejak langkah ataupun "cara hidup” orang-orang Yahudi dan Nasrani, hinggalah dalam urusan yang kecil dan perkara-perkara yang tidak munasabah. Contohnya, jikalau orang Yahudi dan Nasrani masuk ke lubang biawak yang kotor dan sempit sekali pun, orang Islam akan terus mengikuti mereka. Zaman sekarang ini kita dapat melihat kenyataan sabdaan Rasulullah saw. ini. Ramai orang Islam yang kehilangan pegangan di dalam kehidupan. Mereka banyak meniru “cara hidup” Yahudi dan Nasrani samada mereka sedar atau tidak. Ramai orang Islam yang telah terperangkap dengan tipu helah Yahudi dan Nasrani dan ramai pula orang yang menjadi alat dan tali barut mereka. Ya Allah! Selamatkanlah kami daripada mereka.

Friday, October 3, 2008

Memahami Muraqabah

Seorang syeikh (mursyid) mempunyai ramai anak murid, dan ia pula lebih menyukai salah seorang dari muridnya malah memberi perhatian yang lebih kepada murid tersebut berbanding dari murid-muridnya yang lain.

Ketika ditanyai kepadanya (mursyid tersebut) akan hal itu, maka ia menjawab, “Aku akan tunjukkan mengapa aku bersikap demikian terhadapnya.” Lalu ia mengumpulkan murid-muridnya dan diberikan kepada setiap orang dari muridnya itu seekor burung dan memerintahkan kepada mereka, “Sembelihlah burung-burung itu disuatu tempat dimana tiada sesiapapun yang dapat melihatnya!”.

Maka sekalian murid-muridnya pun beredar untuk melaksanakan arahan syeikh tersebut. Dan kemudian masing-masing kembali kepada syeikh dengan burung sembelihannya kecuali murid kesayangan syeikh, dimana ia kembali dengan membawa burung dalam keadaan hidup. Maka syeikh pun bertanya padanya, “Mengapa engkau tidak menyembelihnya?”. Murid itu menjawab, “Tuan guru memerintahkan saya untuk menyembelih burung ini di tempat yang tidak dilihat oleh sesiapapun dan saya tidak menemui akan tempat seperti itu. (maksudnya: Murid itu tidak dapat mencari suatu tempat pun yang sunyi dari tilikan/pengelihatan Allah swt yang Maha Melihat).

Mendengar akan jawaban dari muridnya itu, lalu syeikh pun berkata kepada murid-murid yang lain, “Inilah sebabnya mengapa aku memberi perhatian kepadanya”.

Nota:
- Menurut Syeikh Ali ad Daqqaq, bahawa sabda Nabi saw maksudnya, “Jika engkau tidak melihatnya, sesungguhnya Dia melihat kamu”, merupakan dalil bagi muraqabah.
- Dan berkata al-Jurairy, “Orang yang belum mengukuhkan rasa taqwa dan muraqabah dirinya kepada Allah Ta’ala, tidak akan mencapai mukasyafah dan musyahadah”.

Sumber: Kitab Al Risalah al Qusyairiyyah